Falsafah Jawa ( Pengaruh Budaya Intelektual Hinduisme Dan Tumbuhnya Budaya Priyayi )

Sabtu, 14 Mei 2011

Falsafah Jawa ( Pengaruh Budaya Intelektual Hinduisme Dan Tumbuhnya Budaya Priyayi )

Diambil dari tulisan Prof DR Simuh – tahun 2000
Koentjacaraningrat mengatakan sebagai berikut :
Bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan di pantai utara Jawa Barat, kurang lebih 60 kilometer sebelah timur kota Jakarta di lembah sungai Cisadane. Walaupun tidak ada tanggal pada prasasti itu, tetapi dilihat dari bentuk dan gaya huruf India Selatan dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh seorang raja untuk merayakan peresmian bangunan irigasi dan bangunan keagamaan dalam abad ke-4 Masehi. Raja ini adalah orang Indonesia yang berusaha meniru gaya hidup India, dengan memakai nama-nama Hindu dan mengundang orang-orang Brahmana dari India sebagai konsultan yang dapat memperkenalkan peradaban intelektual dan kesusastraan Hindu di istananya (Coedes 1948). Ia agaknya memperoleh petunjuk-petunjuk dari para Brahmana tersebut mengenai organisasi upacara kerajaan, sebagai dasar dari suatu sistem kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang keramat. Kebudayaan intelektual Hindu itu mungkin telah mendominasi hampir seluruh Asia Tenggara pada waktu itu, tetapi pengaruhnya terbesar adalah terhadap masyarakat istana; sedangkan konsep-konsep Hindu hanya sedikit mempengaruhi masyarakat petani di daerah pedesaan, yang cara hidupnya barangkali tidak banyak berubah sejak berabad-abad yang lalu. (Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal.38).


Kutipan di atas menunjukkan bahwa abad ke-4 Masehi suku bangsa Jawa telah mengenal huruf dan kebudayaan intelektual India Selatan. Dan kebudayaan intelektual India itu dengan filsafat kenegaraan dan mitologi dewa-dewanya telah disadap untuk memperluas kekuasaan raja dan melahirkan lapisan cendekiawan priyayi dan lingkungan istana. Seterusnya pada abad ke-8 dan ke-9 betapa menanjaknya budaya intelektual Kejawen nampak dalam relief-relief bangunan keagamaan candi Borobudur dan Prambanan, yang merupakkan keajaiban dunia. Bahwa para cendekiawan Jawa yang menjemput bola, menyadap dan mengolah unsur-unsur budaya Hinduisme bagi pengembangan dan penghalusan budaya Kejawen.
Bahwa yang teresapi pengaruh Hinduisme secara mendalam hanyalah lapisan atas; yakni budaya priyayi di lingkungan istana kerajaan-kerajaan Jawa; Adapun masyarakat petani pedesan tetap dalam kegelapan buta huruf dan adat-istiadat lama atas dasar religi animisme-dinamisme. Suatu hal yang perlu dicatat dalam tinjauan ini, bahwa Hinduisme itu mempunyai dasar pikiran yang sejajar atau sejalan dengan religi animisme-dinamisme. Yakni bahwa manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan dewa-dewa dan roh-roh halus. Bahkan dengan laku tapa (Tarak brata) manusia bisa jadi sakti dan mengalami bersatu dengan dewanya. Jadi pengaruh Hinduisme justru menyuburkan dan meningkatkan laku keprihatinan para dukun dalam mempengaruhi roh-roh dan daya gaib.
Dalam sastra perwayangan (Mahabarata dan Ramayana) yang berkembang dalam kerajaan-kerajaan Jawa Timur diperagakan hubungan langsung antara manusia dengan para dewa.
Dalam sastra perwayangan diperagakan bahwa manusia bisa jadi penjelmaan dan dirasuki roh dewa, semisal dewa Wisnu nitis dalam diri Krisna, dewa Komojoyo menitis dalam diri Harjuna, dan sebagainya. Hal ini tentu sejajar dengan dasar pemikiran animisme-dinamisme tentang orang kerasukan atau kesurupan roh halus atau ketempelan demit. Jadi cerita-certia mitologis dewa-dewa Hindu beserta mitologi kepahlawanan tokoh-tokoh cerita perwayangan adalah memperhalus dan mempercanggih budaya Kejawen yang berpusat di lingkungan istana. Maka kebudayaan Hindu Kejawen itu laksana bukit-bukit yang menjulang di tengah lembah budaya tradisional masyarakat petani yang hanya tipis tersentuh budaya intelektual Hinduisme.
Kebudayaan intelektual Hindu-Budha yang disadap dan diolah oleh para cendekiawan Jawa memang berkulminasi pada filsafat mistik yang pantheis. Yakni yang memandang bahwa manusia merupakan jagad cilik dan merupakan pencerminan atau bentuk mini bagi jagad gedhe (alam semesta) dan Tuhan (Brahman). Ciri utama dari setiap ajaran mistik pasti menyuburkan pada kepercayaan yang berbentuk mitologis dan sistem pendidikan yang guruisme. Maka mistik Hinduisme dan Budhisme memberikan dukungan pengukuhan wibawa raja-raja Jawa dengan konsep Raja Titising Dewa (Godking). Demikian pula mitologi cerita kepahlawanan dalam Mahabarata dan Ramayana yang dimanfaatkan sebagai leluhur raja-raja Jawa merupakan senjata yang paling efektif untuk mengkeramatkan kekuasaan politik raja-raja beserta para priyayi Jawa dilingkungan istana. Cerita mitologi perwayangan ini merupakan sarana yang paling halus dan paling efisien untuk memperluas kekuasaan dan mempropagandakan kekeramatan sang raja beserta kelas para priyayi pendukung utamanya.
Maka mudah dibayangkan bahwa filsafat mistik beserta cerita-cerita mitologis amat mengakar dalam budaya Kejawen yang sangat ekspresif, yang mereka nilai sangat halus dan adi luhung.
Islam yang mulai menyebar ke Indonesia semenjak abad ke-13 M., ternyata pada mulanya sulit menembus dan diterima di lingkungan tradisi besar budaya Hindu Kejawen, yang berpusat di istana kerajaan pedalaman. Oleh karena itu terpaksa harus mulai dengan merangkak-rangkak meng-Islamkan masyarakat petani pedesaan, terutama di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Daerah-daerah pedesaan yang semula merupakan tradisi kecil dengan masyarakat yang buta huruf akhirnya bisa disulap jadi tradisi besar tandingan bagi budaya Hindu-Kejawen. Yakni dengan mengembangkan sastra budaya agama terutama yang berbahasa Arab. Naskah Jawa tertua yang bisa diselamatkan oleh pelayaran Belanda, dalam pembahasan ilmiah kemudian terkenal dengan nama Het Boek van Bonang. Naskah Islam yang diperkirakan ditulis di Tuban pada abad ke-16 M. ini disebutkan bahwa sumbernya dari Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Tauhid. Jadi Kitab Ihya’ yang merupakan kitab tasawuf yang paling besar dan masyur telah dikenal di Jawa pada abad ke-16. Sehingga mudah dibayangkan bahwa abad ke-16 itu baik secara politik (berdirinya kerajaan Jawa-Islam di Demak), ataupun dalam sastra budaya pesantren, telah merupakan tradisi besar tandingan bagi budaya Hindu Kejawen yang berpusat di majapahit masa itu. Bahkan kemudian kerajaan Majapahit jatuh dan kekuasaan politik beralih ke kerajaan Jawa-Islam Demak.
Menurut sejarah, Islam yang datang dan menyebar ke Indonesia memang Islam yang telah dipengaruhi oleh ajaran mistik. Yakni Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syarr’i. Memang semenjak abad ke-13, yaitu sejak surutnya kebesaran kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam Sunni (Syari’i) maka bermulalah dominasi Islam Sufi. Karena yang menyebar ke Indonesia adalah Islam Sufi, maka agama Islam yang ajarannya telah dimistikkan ini tentu punya dasar pikiran yang sejajar dengan religi asli animisme dan dinamisme. Bahkan dengan ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa pedalamannya, juga sama-sama mistik, tentu punya dasar pemikiran yang sejalan. Yaitu, bahwa manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan dalam mistik melalui samadi atau dengan perantaraan dzikir manusia dikatakan bisa makrifat (berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu) kembali dengan Tuhan-nya. Maka tidak ada masalah bagi para petani pedesaan untuk meningkatkan pemujaan mereka dari roh-roh gaib kepada roh wali-wali gaib yang sakti, semisal Syeh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lainnya.
Demikian pula para priyayi penganut tradisi budaya Kejawen tidak ada masalah menyadap dan mengolah unsur-unsur filsafat mistik Islam untuk dipadukan dengan warisan tradisi budaya Hindu-Kejawen. Bagi mereka hanya menambah dan menyempurnakan ataupun mengganti obyek mitologinya dari dewa-dewa Hindu kepada Wali-wali dalam Islam. Apalagi bagi para priyayi Jawa sejak dulu yang penting dan nomor satu adalah kedudukan atau kekuasaan politik, dan bukan agama. Bagi mereka agama nomor dua; bahkan demi kedudukan merangkap dua agama bukan masalah. Itulah sikap raja Erlangga hingga raja- raja majapahit yang dengan bangga mengaku beragama Syiwa-Buddha. Oleh karena itu sewaktu kekuasaan negara berpindah dari kerajaan Majapahit ke kasultanan Demak, para pujangga Jawa segera menyodorkan konsep peralihan zaman. Yakni dari zaman Kabudan (zaman Hindu-Kejawen) ke zaman Kewalen. Realisasi peralihan zaman ini diikuti perekayasaan penyusunan dongeng cerita Wali Sanga untuk menganti mitologi tentang Jawata (Pimpinan para dewa) Sanga zaman jawa-Hindu. Jadi kepentingan kekuasaan politik adalah mutlak. Oleh karena itu semenjak masa pemerintahan Sultan Agung hingga zaman Surakarta, upaya mengolah unsur-unsur Islam bagi peningkatan dan pengayaan dan penghalusan warisan budaya pra-Islam merupakan strategi pihak istana Kerajaan Mataram.
Inilah proses kegiatan Jawanisasi unsur-unsur Islam, terutama unsur sufismenya, menjadi strategi kebudayaan para pujangga dan sastrawan istana Mataram.
Zaman Mataram memang merupakan puncak kebesaran sastra budaya Kejawen, dari yang bersifat moralis dan mitologis seperti "Babad Tanah Jawa", "Babad Demak", "Babad Giyanti", "Serat Ambiya", " Tapel Adam", dan lain-lainnya. Pokoknya puncak sastra mistik dan mitologi Kejawen yang paling halus dan kaya-raya adalah dikembangkan Zaman Mataram, seperti berbagai macam serat suluk Jawa, "Serat Gatholoco", "Wedhatama", "Wulangreh", "Centhini", "Serat Dewaruci", dan sebagainya. Demikian pula puncak kehalusan bahasa dan sastra Jawa yang berwatak feodalis adalah produk zaman Mataram; sedang zaman Jawa pertengahan dan kuna, bahasanya lebih sederhana dan demokratis. Karena menanjaknya kehalusan sastra Jawa itu berkaitan dengan hilangnya kekuasaan zaman penjajahan pada era Surakarta, maka puncak sastra adalah sangat mistis dan feodalis. Hal ini merupakan kompensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa. Yakni melalui pengkeramatan, pemitosan dengan sarana konsep-konsep mistik. Jadi Ilmu Kejawen atau Islam Kejawen itu amat kompleks. Dari kepercayaan animisme-dinamisme dengan sistem pedukunannya, yakni dukun prewangan ataupun kesurupan roh-roh halus, sampai konsep-konsep mistik Hinduisme, terpadu menjadi satu. Masyarakat pesantren juga banyak mengadopsi tradisi dan kepercayaan animisme-dinamisme dengan ilmu jampi-jampi ataupun santetnya (tenungnya). Demikian budaya Islam Kejawen yang Ke-Hinduan yang dikembangkan para priyayi Jawa di lingkungan istana, tradisi-tradisi dan kepercayaan-kepercayaan animisme-dinamisme beserta mistik Kejawennya tetap dikembangkan untuk mendukung tegaknya kerajaan dan wibawa kelas priyayi. Dalam masyarakat pesantren tersusupi kepercayaan-kepercayaan dan tradisi animisme-dinamisme. Sebaliknya, dalam tradisi besar budaya Kejawen yang terjadi proses Jawanisasi unsur-unsur Islam, terutama unsur-unsur sufismenya.
Kebudayaan Islam Pesantren dan Islam Kejawen memang dijiwai oleh ajaran mistik atau sufisme. Dan kebudayaan yang mistis ataupun sufisme memang berkaitan dengan ilmu gaib (okultisme). Kebudayaan Pesantren dan Kejawen yang mistis ini baru mendapat tantangan dan gempuran dari dua arah sesudah pemerintah kolonial mulai membuka pendidikan sekolah-sekolah umum sejak pertengahan akhir abad ke-19 Masehi. Pendidikan sekolah umum ini mengembangkan cara berpikir rasional dan ilmiah, yang tentu saja secara langsung memojokkan dan meminggirkan kebudayaan mistis, baik Pesantren ataupun Kejawen. Disamping itu pengaruhnya dalam masyarakat Pesantren menimbulkan gerakan reformasi Islam yang mulai menjelmakan gerakan Muhammadiyah pada tahun 1912 M. Reformasi Islam berarti seruan kembali kepada Islam Sunni yang murni atas dasar Al Qur’an dan Sunnah.
Yakni menghidupkan kembali cara berpikir ilmiah yang rasional untuk mengembangkan lembaga ijtihad. Maka para reformis Islam menolak ajaran tasawuf lantaran dinilai jadi sumber perkembangan bid’ah dan khufarat. Dan kembali pada faham Sunni yang murni punya dasar pikiran yang rasional dan ilmiah, sehingga cepat menyesuaikan dengan sistem pendidikan Barat yang modern. Maka gerakan Islam reformis ini cepat menghasilkan kader-kader atau mendapat dukungan simpatisan dari para cendekiawan Muslim yang bisa berbicara di lingkungan tradisi besar, baik dalam urusan (bidang) agama atau ilmu-ilmu umum.
Bahwa ilmu pengetahuan moderen melahirkan tradisi besar baru yang berpusat di perguruan-perguruan tinggi. Yakni melahirkan masyarakat cendekiawan dengan tradisi berpikir kritis analitis. Maka untuk mampu berbicara banyak dalam tradisi besar baru, yakni dalam kalangan cendekiawan adalah yang mampu menguasai cara berpikir analitis dan kritis. Ilmu pengetahuan mendewasakan cara berpikir dan mengembangkan kemandirian. Masyarakat demokrasi juga sangat mendambakan kedewasaan berpikir dan kemandirian ini, karena demokrasi justru filsafat individualisme. Dari segi ini nampak sekali sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap dalam budaya industri dan budaya demokrasi. Hal ini nampak jelas semenjak menyeruaknya huru-hara dan amuk masa yang beruntun semenjak kampanye pemilihan umum yang lalu, hingga goro-goro masalah santhet di Banyuwangi.
Masyarakat masih mudah termakan oleh isu dan main hakim sendiri. Demikian pula dalam ramai-ramai unjuk rasa dalam gerakan refornasi, masih nampak adu otot dan waton gedhe jegoge; dan kemudian diikuti penculikan-penculikan yang menandakan pendekatan kekrasan dan main hakim sendiri. Issu santhet dan amuk massa main hakim sendiri adalah menandakan betapa rawannya bagian mayoritas masyarakat Indonesia, terutama justru di pusat-pusat Pesantren yang dibuat mainan kelompok kepentingan. Hal ini menunjukkan keadaan keterpinggiran bagian terbesar umat Islam hingga mudah emosi dan jadi makanan empuk bagi para penyebar issu.


Sumber Dari : Heritage Of Java
http://heritageofjava.com/portal/

Comentários:

Posting Komentar

 
Antik Unik Bertuah © Copyright | Developed By Jasa Buat Blog Murah |