Filosofi Sebuah Keris

Kamis, 19 Mei 2011

Filosofi Sebuah Keris


Makna Filosofi Keris

Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud fisiknya. Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris. “Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya perkerisan.
Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ? Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1 dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti dapur, pamor maupun tangguhnya.

Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa.
Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.

Bagian-bagian keris
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.

* Pegangan keris


Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

* Wrangka atau Rangka


Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) . Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

* Wilah


Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak lazim.
Sumber: ki walet


Makna dan Filosofi Keris Dalam Budaya Jawa
Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan jaman, keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut empu, ini mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui laku / berpuasa, tapa / bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Menilik Pada masa kerajaan Majapahit, keris terbagi menjadi 2 kerangka yang saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.
Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk atau model keris, atau yang disebut dengan istilah dapur. Selain dari dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan kembali bersatu kepada Tuhan sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Sumber: Tjokrosuharto.com



Keris Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup

Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi – sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.

Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat berburu (baca: mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang (baca : mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan (baca: tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.

Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman “Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin
Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.

Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.


Sumber Artikel Dari : noenk CAHAYA
http://noenkcahyana.blogspot.com

Comentários:

Posting Komentar

 
Antik Unik Bertuah © Copyright | Developed By Jasa Buat Blog Murah |