KerisMania: Masa depan Budaya Keris

Rabu, 18 Mei 2011

KerisMania: Masa Depan Budaya Keris


Keris K.K. Siloponco oleh empu Toni Junus, bahan dari Nantan Meteorite (Guang Ji - China 1561). Pandenya Haji Ahmad, Sumenep. Dilaras oleh M. Jamil.

Kerismania: Masa Depan Budaya Keris

Oleh : A. Ardiasto, SH (Alm).

Melihat antusiasme anak-anak sekolah dasar di Jepang membuat pisau sebagai bagian dari pendidikan ekstrakurikuler dan menengok pandai besi di Malaysia yang terus berproduksi dengan disubsidi oleh negara, membuahkan satu pertanyaan yang perlu kita renungkan, akankah budaya keris di Indonesia mampu bertahan dan terus ‘membudaya’ kelak di kemudian hari? Akankah garda depan pelestarian keris masih mempunyai nafas panjang dalam mempertahankan dan memajukan budaya adiluhung ini?





Tradisi Katana di Jepang, Keris di Melayu, atau Jambiya di Semenanjung Arabia hingga saat ini terus mengakar kuat karena sistem budaya yang kuat. Pedang Katana bagi orang Jepang, tidak terlepas dari semangat Bushido yang hidup abadi dalam diri setiap orang Jepang. Begitu pula keris bagi orang Melayu, ‘Keris Lounge’ di bandara Changi Singapura dan ‘pin’ keris yang dipakai oleh pramugari Singapore Airlines menandakan kebanggaan yang kuat atas budaya keris bagi orang Melayu. Jauh di semenanjung Arabia hingga ke arah timur laut Khaibar, lelaki remaja hingga dewasa tak pernah meninggalkan Jambiya yang bagaikan ‘istri’ kedua bagi mereka.

Sama-sama berwujud ‘senjata’ atau alat membela diri, namun ada nilai lebih dari benda-benda tersebut, bahwa melihat ketiga contoh diatas, Katana, Keris, dan Jambiya, ketiga benda tersebut sudah menjadi gaya hidup bagi kebudayaan yang mereka miliki. Menjadikan keris sebagai gaya hidup merupakan tantangan kita di masa kini untuk menjawab pertanyaan, apakah budaya keris masih tetap dapat dipertahankan di masa depan? Atau tinggal menjadi konsumsi kalangan ‘tertentu’ dan sekelompok kecil pecinta keris saja?

Perspektif Pasca-Kolonial
Indonesia begitu kaya akan etnis, suku, dan sub-suku yang masing-masing memiliki kebudayaan masing-masing. Sebagai negara baru yang baru berumur 65 tahun, ‘Indonesia’ belum memiliki identitas budaya nasional yang baku. Identitas budaya nasional Indonesia, adalah keragaman budaya itu sendiri. Keragaman dari puluhan etnis dan ratusan suku bangsa yang hidup dan mendiami kepulauan Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu.

Masuknya kolonialisme Eropa di abad XVI hingga berakhir di pertengahan abad XX turut mempengaruhi pembentukan kebudayaan nasional. Eropanisasi menginfiltrasi kebudayaan dari atas ke bawah (top-down). Lihat saja pakaian yang dikenakan Raja-raja di Nusantara, kental sekali ‘aroma’ Eropa nya. Nampaknya hal ini menjadi faktor yang turut mengeser budaya ‘origin’ nusantara, walaupun dalam teorinya bahwa kebudayaan itu akan terus bergerak dan berkembang.

Menjadikan keris sebagai identitas nasional, akan menghadapi kendala karena politik ‘devide et impera’ yang terus ditiupkan oleh kolonialisme Eropa. Pertanyaan mereka, menjadikan keris sebagai identitas budaya nasional apakah cukup mewakili beragam kebudayaan yang ada di nusantara? Bagaimana dengan etnis atau suku yang tidak memiliki budaya keris? Dalam perspektif mereka, infiltrasi budaya Eropa adalah jawaban dari keraguan dan kebingungan dalam pembentukan identitas budaya nasional.

Perspektif Neo-Liberal
Keris adalah benda budaya yang eksotik, origin, dan ‘nampaknya’ laku di jual ke pasar seni. Rezim kapitalisme neo-liberal menangkap peluang ini sebagai komoditas pasar yang cukup menarik. Eksotisme oriental khas asiatik dengan perspektif ‘keprimitifan’ ala barat, seakan-akan menjadi pembenar bahwa keris adalah obyek yang layak untuk dieksploitasi secara ekonomis.

Negara-negara utara khususnya selalu haus akan karya seni oriental. Museum dan Art Shop di beberapa negara Eropa, menyediakan ruang khusus untuk karya seni dari Asia, dalam bentuk ‘Oriental Space’. Karya seni kontemporer maupun klasik laku keras di pasaran Eropa, termasuk diantaranya karya klasik keris. Pengamatan empirik penulis dalam 5 tahun terakhir ini, khususnya di Yogyakarta, setiap tahunnya tidak kurang dari 5-10 ribu bilah keris berbagai jenis dan kualitas yang ‘melayang’ ke pasar luar negeri.

Pedagang-pedagang keris dari Belanda, Jerman, Australia, dan Malaysia terus memburu keris dari Indonesia. Disamping alasan ‘murahnya’ harga karya seni keris dari Indonesia, alasan lemahnya ‘nasionalisme’ orang Indonesia menjadi dorongan bagi para pemburu keris luar negeri. Mereka beranggapan bahwa orang Indonesia sudah tidak membutuhkan identitas kebangsaan, lemahnya perekonomian nasional dan susahnya lapangan pekerjaan menjadi alasan bahwa negara tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga nasionalisme pun tergadaikan.

Perspektif Etnisitas
Dari sekian banyak kebudayaan yang mendiami kepulauan Nusantara atau khususnya negara Indonesia, keris lah yang hampir didapati ada pada kurang lebih 60% kelompok etnis dan suku di nusantara. Walaupun tidak selalu keris, paling tidak tehnik tempa lipat dan seni rupa pamor dipakai oleh pandai besi di nusantara untuk membuat senjata. Bahkan cara perawatan senjata-senjata tersebut kurang lebih sama dengan perawatan keris.

Keris menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai ‘Pencitraan Nusantara’. Keris adalah ‘karya seni’ sekaligus ‘benda budaya’ asli Nusantara. Budaya keris terbentang dari Ujung pulau Sumatra di barat, Semenanjung Siam dan Sulu di Utara, Gugusan kepulauan Maluku di Timur dan Kepulauan Nusa Tenggara di Selatan. Keris menjadi identitas pengikat yang mendorong rasa kebangsaan itu tumbuh subur di Nusantara. Rasa kebangsaan memerlukan simbol, bukan hanya dalam pengertian simbol yang bersifat abstrak melainkan simbol nyata yang dapat mewakili hampir dari seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara.

Kerislah yang nampaknya dapat diangkat sebagai simbol persatuan Nusantara. Bukti sejarah menunjukkan pengaruh budaya keris dalam tehnik tempa logam yang digunakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Budaya keris menyebar sejalan dengan perdagangan dan hubungan diplomatik diantara kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Keris dan Studi Oriental
Budaya Keris menjadi kajian studi yang menarik bagi orang barat. Puluhan buku tentang keris yang dikeluarkan oleh sarjana barat menjadi bukti bahwa keris adalah obyek studi oriental yang menarik. Lewat kajian studi oriental inilah bangsa-bangsa di Utara memahami dengan baik karakter bangsa-bangsa Asia khususnya Nusantara kita. Keris menjadi dasar pijakan bagi riset-riset sosial yang mereka kembangkan.

Lewat keris, ilmuwan barat mengkaji sejarah nusantara dengan baik, dengan metode penelitian kualitatif yang mendalam. Dampaknya adalah bahwa mereka mempunyai ‘petunjuk’, data base, dan ‘peta’ sosiologis masyarakat Nusantara. Data inilah yang mereka gunakan sebagai acuan bagi proyek-proyek selanjutnya baik yang berperspektif ekonomis maupun sosial.

Asia khususnya Nusantara, merupakan sumber inspirasi riset sosial yang tidak pernah ‘kering’ dimata ilmuwan barat. Kekayaan seni dan budaya nusantara mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi ilmuwan barat. Begitu pula dengan peradaban masa lalu nusantara. Proyek-proyek penelitian yang berusaha ‘menguak’ masa lalu, nantinya akan mereka gunakan sebagai bahan untuk ‘merajut’ masa depan nusantara, yang ada dalam genggaman mereka.

Kejumudan Modernitas
Moderenitas yang diwakili oleh kemajuan teknologi, membuat orang ‘mapan’ merasa jenuh dan bosan. Kehidupan yang serba ‘nyaman’ dan ‘otomatis’ membuat mereka rindu akan masa lalu. Romantisme sejarah, dimana kehidupan berjalan secara alamiah dan teratur mengikuti kehendak alam ingin mereka hadirkan ke alam yang serba moderen ini. Makanan Organik, Rumah Joglo, dan Hobi Keris menjadi bukti bahwa masyarakat moderen jenuh dengan hal-hal yang serba instan.

Perpindahan masa lalu ke era moderen ini dapat kita lihat antara lain dalam seni arsitektur. Saat ini orang moderen lebih memilih rumah-rumah adat semisal ‘joglo’ atau ‘limasan’ Jawa ketimbang rumah tembok biasa. Selain lebih artistik, alasan ‘rindu’ masa lalu menjadi dasar pembenar utama. Hasilnya, desa pindah ke kota dan ‘kota’ pindah ke desa. Saat ini lebih gampang menemui rumah joglo di perkotaan ketimbang rumah joglo di pedesaan. Dan sekali lagi pasar luar negeri ‘melirik’ hal ini sebagai peluang pasar yang potensial. Rumah joglo menjadi komoditas barang antik yang sangat laku di pasar Eropa.

Dalam dunia hobi, rasa ‘rindu’ atas masa lalu ini mulai menjangkiti para penghobis. Dan salah satu pilihan mereka adalah jatuh pada dunia koleksi keris. Keris dianggap benda yang dapat mewakili masa lalu, jauh menembus kehidupan alamiah yang saat ini tergerus oleh modernitas. Keris dapat mengobati kerinduan akan kebesaran masa lalu, sebuah romantisme yang kadang-kadang menjadi ‘bumbu’ dalam diskusi-diskusi perkerisan. Orang akan tetap mengagumi keris yang dianggap lahir pada era Kerajaan Shingasari atau Majapahit sembari membayangkan kehidupan masyarakat Shingasari atau Majapahit di masa lampau.

Keris dan Kaum Muda
Minat kaum muda terhadap keris, saat ini mengalami peningkatan yang cukup pesat. 10 tahun yang lalu, para penghobi keris masih didominasi oleh mereka yang berumur diantara 40-70 tahun atau mereka yang telah mapan secara ekonomi. Untuk saat ini, fakta diatas tergeser oleh semangat kaum muda dalam menyemarakkan dunia perkerisan. Hal ini harus segera direspon positif, sebab kaum muda adalah pewaris dan garda depan pelestarian budaya keris.

Tantangan pelestarian keris yang diwakili oleh kaum muda antara lain anggapan bahwa koleksi keris adalah koleksinya ‘kaum mapan’, atau setidaknya orang yang tidak memiliki masalah dalam hal ekonomis. Ketertarikan mereka terbatasi oleh mahalnya harga keris. Sehingga pada akhirnya muncul rasa ‘minder’ dan pupusnya harapan untuk memiliki keris. Hal-hal seperti ini nampaknya perlu diantisipasi dengan jalan menyemarakkan dan mempromosikan keris baru sebagai karya seni yang cukup membanggakan. Keris akan menjadi mahal bila jumlahnya menjadi semakin terbatas, dan inilah yang menimpa keris-keris tua bermutu yang kita miliki, dan sebagian besar sudah ‘lari’ ke luar negeri.

Cara lain menarik minat kaum muda dalam pelestarian keris dan nampaknya cukup efektif adalah dengan jalan ‘menguri-uri’ pusaka warisan leluhur. Kita tahu bahwa budaya ‘pusaka’ adalah budaya suku bangsa nusantara. Hingga saat ini masih banyak keluarga yang memegang tradisi ini. Celakanya adalah apabila keris pusaka yang mereka miliki jatuh ketangan orang lain, entah lewat perdagangan maupun lewat cara lain. Kaum muda yang mewarisi pusaka leluhur dapat diorganisir lewat paguyuban atau perkumpulan keris yang saat ini marak bermunculan. Memunculkan rasa bangga atas keris pusaka warisan leluhur

Masa depan pelestarian keris berada di pundak kaum muda. Anggapan bahwa masa depan pelestarian keris hanya dilakukan oleh ‘kaum mapan’ agaknya perlu dianulir. Tumbuhnya rasa kebangsaan dalam balutan idealisme nasional bisa diusung oleh ketertarikan kaum muda dalam pelestarian keris. Kaum muda cenderung terbuka pada perubahan dan dinamika wacana. Kaum muda cenderung menghindari feodalisme, yang kadang-kadang muncul dalam paguyuban atau perkumpulan penggemar keris. Sebagai pusaka sekaligus benda seni, kaum muda lebih rasional dalam memaknai sebilah keris.

Keris menjadi inspirasi dan kebanggaan kaum muda namun bukan berfungsi sebagai benda ilusionis belaka. Kaum muda cenderung memaknai keris lebih luas dan tidak larut dalam romantisme sejarah yang mengilusi. Cerita-cerita romantisme sejarah hanya menjadi bumbu dan penyemangat dalam perubahan yang lebih besar, rasa perlawanan terhadap kooptasi dan dominasi asing atas tanah leluhur kita agaknya menjadi perhatian yang lebih menarik ketimbang mengangan-angankan masa lalu. Semangat keris pusaka yang mereka warisi dari leluhur menjadi modal bagi perwujudan idealisme dan semangat kebangsaan kaum muda, dan masa depan keris pun berada di tangan kaum muda.

Penulis aktif Ardiasto Sh, telah tiada meninggal pada tanggal 7 Mei 2010. Selamat jalan sobat baikku (TJ).


Sumber Artikel Dari : Java Keris
http://www.javakeris.com

Comentários:

Posting Komentar

 
Antik Unik Bertuah © Copyright | Developed By Jasa Buat Blog Murah |