Serat Wulang Reh
Serat Wulang Reh - Paku Buwana IV (1768–1820)
Serat Wulang Reh, karya Jawa klasik bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768 – 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta.
Dari serat ini tampak bahwa krisis politik dan ekonomi yang melanda istana-istana Jawa sejak permulaan abad ke 19 meluas ke bidang sosial dan kultural. Institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional mengalami erosi, sedangkan yang baru masih dalam proses pertumbuhan. Hal itu terjadi karena politik kolonial pemerintahan Belanda yang semakin intensif dan juga disebabkan oleh pergaulan istana-istana Jawa dengan orang-orang Eropa yang samakin meluas. Banyak adat-istiadat baru yang semula tidak dikenal akhirnya masuk istana. Sementara itu generasi mudanya lebih terbawa ke arus baru daripada menaati dan menjalani yang lama. Dengan demikian generasi muda dianggap kurang menghargai dan kurang menghormati adat istiadat dan nilai-nilai warisan luhur, kurang sopan santun, kurang prihatin, tidak mau mendengarkan dan menerima pendapat orang-orang tua.
Semua tinggkah laku dan cara berpikir mereka dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya yang sesuai dengan pedoman yang diwariskan oleh leluhur-leluhur pada masa yang lalu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang istana itu berusaha mempertahankan statusnya. Untuk itulah mereka menggali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika. Teks-teks lama yang digubah, isi dan bahasanya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku pada waktu. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.
Dengan demikian, niali seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadardapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.
Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram.
Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan awu’tali kekerabatan’. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkankewaspadaan batin. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “ reh “ bersabar hati dan “ ririh “ tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi.
Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang :
1. Deduga “ dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah.”
2. Prayoga “ dipertimbangkan baik buruknya “
3. Watara “ dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan “
4. Reringa “ sebelum yakin benar akan keputusan itu “
Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-laki yang tertua, Guru dan raja.
Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi :
1. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua
2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima
3. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran
4. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup.
5. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik.
6. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi.
Serat Wulang Reh
Serat Macapat Dandanggula
1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
Sumber Dari : Heritage Of Java
http://heritageofjava.com/portal/
Sastra Jawa - Serat Wulang Reh
Sabtu, 14 Mei 2011
Diposting oleh
Antik Unik Bertuah
Artikel Terkait Lainnya:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comentários:
|-) :woot: :surprise: :sleepy: :oya: :nyu: :music: :kishishi: :kikik: :hoahm: :grr: :fufu: :dies: :cry: :blush: :bignose: :D :-| :-w :-Z :-O :-E :-? :-3 :-0 :-( :) :(( :( 8-| 8-) (:
Posting Komentar